Senin, 02 Januari 2012

Aspek Ibadah Dalam Islam

Sebagaimana telah dijelaskan bahwa agama adalah suatu sistem keyakinan manusia terhadap Zat yang dianggap Tuhan. Keyakinan manusia terhadap Zat  yang dianggapTuhannya, apapun atau siapapun dia, merupakan hak azasi yang tidak bisa dicampuri oleh orang lain. Untuk mencapai hubungan dengan zat yang dianggap Tuhan itu, manusia melakukan persembahan sebagai manifestasi dari sistem keyakinan yang dianutnya. Persembahan itulah yang kemudian hari berkembang menjadi sistem peribadatan, yang lazim disebut Sistem Ritual. Ritualisme dalam suatu agama bersifat sakral, yaitu sejenis ibadah yang telah ditentukan syarat dan rukunnya, khususnya dalam Islam telah ditetapkan Allah dan dicontohkan oleh Rasul Allah. Durkheim salah seorang sosiolog menyebutkan adanya dua sistem kekuatan yang mendukung eksistensi suatu agama, yakni sesuatu yang sacre (sakral bersifat ukhrowiyah ) dan sesuatu yang profan (bersifat duniawiyah). Ibadah ritual adalah jenis ibadah yang sakral, dan tidak membutuhkan ikut campur pikiran manusia secara mendalam. Sedang ibadah sosial dan seremonial adalah contoh jenis ibadah yang bersifat profan, berkaitan dengan kehidupan duniawiyah.
Secara filosofis, sistem keyakinan mengalami proses evolusi, seperti digambarkan oleh August Comte dalam teori positivismenya. Pada masyarakat primitif yang cenderung berfikir positif kongkrit, persembahan dilakukan terhadap benda-benda keramat yang dianggap mempunyai kekuatan (“mana”). Persembahan terhadap benda-benda materi yang dianggap zat Tuhan melahirkan faham materialisme.  Perkembangan pemikiran manusia secara evolusi pada akhirnya mengantarkan lahirnya faham Idealisme dan Spiritualisme, ketika manusia mulai menyadari bahwa hakikat Zat Tuhan yang layak disembah adalah sesuatu yang ideal dan bersifat spiritual. Tuhan yang ideal itu tentulah bukan benda materi yang bisa hancur bersama hancurnya alam. Tuhan yang ideal adalah Zat yang mempunyai gagasan (ide) sebagai sumber aspirasi bagi ummatnya, serta memberikan semangat (spirit) kepada para penganutnya. Dia berada jauh diluar alam karena bersifat transenden, sehingga Tuhan  yang Ideal dan bersifat Spiritual itu tidak akan ikut hancur bersama hancurnya alam semesta. 

Shalat Ibadah Ritual
Sebagai jenis ibadah yang bersifat ritual, pelaksanaan shalat tidak banyak membutuhkan ikut campur pikiran manusia. Allah telah menentukan batasan waktu secara global, dan Rasulullah telah menafsirkan waktu-waktu shalat itu sesuai dengan ketetapan Allah.
أقم الصلا ة لد لوك الشمس الى غسق الليل وقر أ ن الفجر ان قرا ن الفجر كا ن مشهود ا
ان الصلا ة كا نت للمؤ منين كتا با مو قو تا
Kalaupun ada ikut campur manusia, mungkin dalam aspek sosial dan seremonial, menyangkut jenis pakaian, cara menentukan waktu, menentukan lokasi tempat sujud, dll. Manusia boleh berfikir variatif dan inovatif sesuai situasi dan kondisi masyarakat di mana mereka hidup. Masyarakat bangsa Arab yang kebetulan menganut tradisi berpakaian jubah, mereka melakukan shalat mengenakan jubah;  orang-orang muslim di Amerika yang biasa berjas dan berdasi, mereka shalat memakai jas dan dasi; sedangkan orang Indonesia yang biasa pakai sarung, shalat mengenakan sarung, dst. Pakaian adalah aspek sosial yang bisa diterjemahkan sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat sekitar. Untuk menentukan waktu Shalat Dhuhur dan Ashar misalnya manusia bisa menggunakan alat yang tersedia, sesuai kemampuan akal masing-masing.
Pada masyarakat Indonesia, dulu menentukan waktu Dhuhur atau Ashar dengan melihat panjang bayang-bayang suatu benda, apakah sudah bergeser atau belum, sudah melebihi panjang bendanya atau belum. Itu sebabnya di beberapa masjid masa lalu, terdapat semacam tugu di halaman masjid, untuk mengukur panjang bayang-bayang. Perkembangan pemikiran manusia dengan ilmu pengetahuannya, menuntun masyarakat menggunakan hisab berdasarkan ilmu falaq, sehingga waktu shalat bisa diprediksi melalui jadual untuk satu tahun atau bahkan jadual abadi. Penggunaan alat untuk mengukur dan menentukan waktu shalat adalah aspek sosial, bisa diterjemahkan sesuai kemampuan masyarakat. Begitu pula saat menetapkan lokasi atau tempat di mana sebuah masjid harus dibangun, dari mana biayanya, bagaimana bentuknya, siapa panitianya, adalah aspek sosial yang bisa diterjemahkan sesuai dengan situsi dan kondisi masyarakat. Tetapi substansi shalat sebagai bentuk ritualisme ibadah dalam Islam yang bersifat sakral, sama sekali tidak membutuhkan pemikiran manusia bagaimanapun canggihnya.
Rasulullah telah memberikan contoh kongkrit bagaimana cara shalat yang harus dilakukan, sesuai shalat Nabi bersama para sahabat, sehingga beliau bersabda : ( صلوا كما رأ يتمو نى أ صلى  -  Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat); ada syarat dan ada rukunnya. Salah satunya harus membaca surat Al- Fatihah dan ayat Al- Qur’an. Tidak sah shalat tanpa membaca Al- Fatihah dan ayat Al- Qur’an. Surat Al-Fatihah dan ayat Al- Qur’an adalah firman Allah swt, yang bunyi teksnya sudah biasa kita baca dalam shalat lima waktu.
Terjemahan, hasil buah fikir manusia, jelas bukan firman Allah; karena itu kalimat serta makna yang terkandung di dalamnya belum tentu tepat sesuai dengan yang dimaksud oleh ayat. Dengan demikian, terjemahan tidak perlu dilakukan dalam shalat, tetapi bisa dilakukan untuk ibadah di luar shalat. Kekhusyukan shalat juga sama sekali tidak ditentukan oleh adanya terjemahan dalam shalat, justru mungkin sebaliknya mengaburkan sekian banyak makna ayat-ayat Al- Qur’an, yang hakikatnya hanya Allah yang mengetahui maksudnya. Secara tehnis shalat dengan terjemahan juga akan mempersulit orang yang shalat, ketika ayat-ayat yang dibaca harus difahami dulu terjemahnya. Lalu orang harus mengejar bisa terjemah dulu baru kemudian shalat, atau shalat saja dulu sesuai yang diajarkan Nabi, baru kemudian kita belajar memahami makna yang terkandung di dalamnya di luar shalat. Memahami makna kandungan ayat Al- Qur’an, memang bisa mendukung khusyuknya shalat, tetapi bukan diucapkan secara dhohir mengiringi bacaan ayat, melainkan diresapi dalam hati serta dihayati dalam jiwa sanubari.

Aspek Sosial
  Ibadah sosial adalah jenis kegiatan manusia dalam interaksinya dengan sesama berdasarkan perintah Allah dan Rasul Nya. Berbakti kepada orang tua, bagaimana caranya, kapan waktunya dan di mana tempatnya, adalah aspek sosial yang bisa diterjemahkan sesuai dengan tradisi dalam suatu masyarakat. Hidup berkeluarga, berrumah tangga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara bisa menjadi lahan ibadah yang bersifat sosial, sepanjang diniati semata-mata karena menuntut ridlo Allah. Bagaimana cara membangun rumah tangga, bagaimana cara bermasyarakat, dan bagaimana cara hidup berpolitik, berbangsa dan bernegara, bisa dilakukan sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakatnya. Antum a’lamu bi-umuuri dunyaakum, begitu kira-kira pesan Rasul Allah berkait dengan ibadah sosial (Kamu lebih mengerti tentang urusan duniamu). Ada kemungkinan tradisi zaman Nabi belum tentu sama dengan tradisi sosial yang berkembang pada zaman kita sekarang ini. Berkembangnya partai politik, banyaknya golongan dan madzhab adalah masalah sosial yang tidak terikat syarat dan rukun. Tidak ada ketentuan seseorang muslim harus mengikuti partai tertentu, golongan atau madzhab tertentu, apalagi dihukumi wajib misalnya. Benar, bahwa mayoritas ummat Islam di Indonesia bermazhab Syafi’i, yang kebanyakan menjadi anggota Nahdlatul Ulama, tetapi bukan berarti ummat Islam yang bermazhab lain dianggap bukan ummat Nabi. Hambali, Hanafi, Maliki seperti juga Syafi’i adalah Imam besar pada zamannya yang harus kita hormati dan kita hargai hasil ijtihadnya dalam bidang fiqih syari’ah. Sebab itu secara sosial ummat Islam berpeluang untuk mengikuti pemikiran atau faham para ulama tersebut, tanpa harus fanatis hanya mengakui satu imam, dengan mendeskreditkan imam yang lain.
Berorganisasi, termasuk aspek sosial yang bisa diterjemahkan sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat, kalau niatnya baik untuk mengembangkan syi’ar dan dakwah Islam bisa disebut ibadah sosial, tetapi tidak sakral. Nabi Muhammad sendiri dalam sejarah hidupnya sama sekali tidak pernah mengenal organisasi NU, Muhammadiyah, Persis, Al-Irsyad, Al-Washliyah atau sebangsanya. Bahkan Nabi Muhammad dan para sahabat juga tidak pernah menganut madzhab Syafi’i, Maliki, Hambali atau Hanafi. Oleh karena itu ummat Islam di manapun adanya terbuka kesempatan untuk mengikuti organisasi apa dan menganut madzhab yang mana, tergantung pada niat dan seleranya masing-masing. Ada orang Islam yang mungkin berfikiran lebih baik menerima semua madzhab sebagai rujukan hidupnya dalam beragama, itu sah-sah saja; karena tidak ada yang sakral dalam konteks ini. Ibadah Haji misalnya dengan syarat dan rukunnya adalah ibadah ritual yang sakral, tetapi bagaimana cara kita berangkat menunaikan ibadah haji, berapa ongkosnya, siapa panitianya itu adalah aspek sosial yang bisa dikembangkan sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakatnya. Berpuasa pada bulan suci Ramadlan itu termasuk ritual yang sakral, tetapi makanan apa yang bisa di makan untuk berbuka, sahur dll. adalah aspek sosial.

Aspek Seremonial
    Selain banyak aspek ritual dan aspek sosial dalam kehidupan beragama, masyarakat juga banyak melakukan ibadah yang bersifat seremonial. Upacara-upacara peringatan maulid Nabi, Isra Mi’raj,          Halal bi Halal, Nuzul Al- Qur’an dan peringatan-peringatan hari besar Islam lainnya, Majlis Ta’lim, syukuran, slametan, walimatul khitan, walimatun nikah, dan semua upacara resmi secara Islami adalah bentuk ibadah seremonial. Ada nilai ibadahnya, karena mengingatkan kita pada ajaran agama, pesan-pesan dakwah Rasulullah, serta bermanfaat bagi pengembangan syi’ar dan dakwah Islam. Tetapi pada pelaksanaannya, ummat Islam bisa menterjemahkan aktifitas seremonial itu sesuai dengan tradisi yang berkembang dalam masyarakat itu sendiri. Dalam konteks inilah, kegiatan dakwah, ceramah, mauidhah hasanah dan uswatun hasanah Nabi Muhammad disesuaikan dengan bahasa kaumnya (bilisaani qaumihi). Dalam ibadah yang bersifat seremonial, tidak ada syarat dan rukun yang ditentukan oleh Allah dan Rasul Nya. Masyarakat terbuka untuk menterjemahkan upacara-upacara ibadah yang bersifat seremonial sesuai dengan tradisi yang berlaku dalam masyarakat sekitarnya. Benar, Nabi Muhammad tidak pernah mengadakan upacara peringatan hari besar Islam, tetapi bukan berarti salah kalau ada ummat Islam yang memperingatinya, sepanjang untuk mendukung dakwah dan syi’ar Islam. Bagaimana caranya silahkan disesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat. Siapa yang menjadi panitianya, siapa yang memberikan sambutan dan acara-acara apa yang hendak ditampilkan, tidak perlu mencontoh Nabi, karena Nabi sendiri tidak pernah melakukannya, seperti yang kita lakukan sekarang. Tetapi tidak ada larangan untuk kita lakukan. Penyelenggaraan upacara seremonial itu bisa bernilai ibadah, jika di dalamnya ada niat karena Allah, dilaksanakan sesuai dengan norma dan nilai ajaran agama, serta bermanfaat bagi masyarakat.     Jika toleransi hendak diwujudkan antar ummat beragama dalam kehidupan bermasyarakat, maka kebersamaan bisa dilakukan menyangkut aspek sosial dan seremonial, bukan dalam aspek ritual yang sakral.
Kesimpulan
    Perspektif Sosiologi Antropologi, bisa dijadikan pedoman dalam hidup bermasyarakat dan beragama antara lain karena :
•    Agama benar-benar berfungsi sebagai media integrasi di tengah kemajemukan masyarakat serta pluralisme faham, golongan, sekte dan madzhab.
•    Hakikat agama sebagai Way of Life (Jalan Hidup) menuju keselamatan dan kebahagiaan, memberikan peluang terbuka kepada masyarakat untuk  berbeda ketika memilih jalan mana yang hendak dilalui, kendaraan apa yang hendak dinaiki.
•    Kalaupun ada konflik, karena perbedaan faham, perbedaan pendapat atau perbedaan cara pandang, pada dasarnya bisa dipertemukan secara fungsional untuk bisa saling mengisi dan melengkapi.
•    Agama sebagai Sistem Budaya mengandung kekayaan spiritual yang bersifat ideologis, ritual dan sakral; karena di dalamnya terdapat seperangkat pengetahuan, keyakinan, norma dan nilai-nilai sosial budaya sebagai pedoman hidup dalam bermasyarakat (sistem sosial), dalam penampilan (sistem kepribadian) dan dalam tindakan sehari-hari (sistem perilaku).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar