Kamis, 22 Desember 2011

Nasib Bahasa Inggris di Indonesia: Quo Vadis?

Dalam sebuah diskusi dengan seorang teman, kami menyinggung masalah lemahnya kemampuan orang Indonesia dalam berbahasa Inggris. Oleh sebab itu, tidak heran bahwa jenjang pekerjaan yang dicapai oleh tenaga kerja Indonesia di luar negeri umumnya hanyalah tingkatan pekerja kasar. Ternyata, lemahnya kemampuan berbahasa Inggris itu juga dirasakan oleh para mahasiswa yang kini sedang melanjutkan kuliah di luar negeri. Tidak banyak dari mereka yang mungkin betul-betul menguasai bahasa Inggris. Jauh sekali dibandingkan dengan mereka yang berasal dari negeri jiran, termasuk Filipina. Lantas, apa yang salah? Selama ini kita sudah belajar bahasa Inggris dari SMP kelas satu; bahkan, anak-anak sekarang sudah mengenal bahasa Inggris sejak duduk di bangku SD. Barangkali, karena bahasa Inggris masih diposisikan sebagai bahasa asing. Begitu kata teman saya.
Dalam Politik Bahasa Nasional, bahasa Inggris memang diposisikan sebagai bahasa asing. Jadi, masyarakat pun bersikap “asing” terhadap bahasa Inggris sehingga mereka pun tidak terbiasa untuk menggunakannya. Saya melihat politik bahasa di Jepang serupa dengan politik bahasa Indonesia dalam hal status bahasa Inggris ini. Bahasa Inggris ditempatkan sebagai bahasa asing. 
Jika kita melihat politik bahasa di negeri jiran Malaysia, semula pemerintah Malaysia menempatkan bahasa Melayu sebagai bahasa resmi dan bahasa pengantar di semua jenjang pendidikan.  Namun, karena pengaruh globalisasi dan permintaan pasar yang menuntut kemampuan berbahasa Inggris, sejak 2002 pemerintah mengubah kebijakan dengan menempatkan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar di semua jenjang pendidikan.
Lain lagi dengan kebijakan bahasa di Brunei Darussalam. Di Brunei Darussalam, bahasa Melayu adalah bahasa resmi dan bahasa Melayu Brunei menjadi alat komunikasi sehari-hari. Namun, untuk bidang pendidikan, Brunei Darussalam menentukan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar mulai pendidikan pradasar hingga pendidikan dasar tingkat ketiga. Pada tingkat keempat, semua pelajaran diberikan dengan bahasa pengantar bahasa Inggris.
Bagaimana dengan Filipina? Filipina adalah negeri yang semula menjadikan bahasa Spanyol sebagai bahasa rujukan mereka. Namun, ketika menyadari pentingnya penguasaan bahasa Inggris, kemudian mereka menggantikannya dengan bahasa Inggris. Politik kebahasaan di Filipina menerapkan kebijakan bilingual. Jadi, bahasa resmi di Filipina masa kini adalah bahasa Filipino dan bahasa Inggris. Akibatnya, keduanya diajarkan secara berimbang di dalam sistem pendidikan mereka.
Bagaimana dengan Indonesia? Semuanya saya kembalikan kepada mereka yang sedang menduduki jabatan penting di negeri ini untuk memikirkan baik buruknya. Meskipun kemampuan rata-rata bahasa Inggris pelajar Malaysia melebihi kemampuan rata-rata siswa Indonesia, kini di Malaysia kekhawatiran terhadap hilangnya kemahiran berbahasa Melayu mulai muncul. Ya, penggunaan bahasa Melayu sekarang makin lama memang makin terkikis. Jadi, meskipun sebuah bahasa diposisikan sebagai bahasa resmi, jika tidak ada keuntungan strategis yang memadai, bahasa tersebut hanya akan menjadi hiasan dalam undang-undang, atau hanya menjadi bahasa di dalam prasasti: ada, tetapi tidak banyak terdengar di dalam kehidupan sehari-hari.  Quo vadis, Indonesia?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar